Teolog Jesuit: Karl Rahner , SJ
Siapakah Karl Rahner , SJ?
Masco Sinaga, SJ
Pengantar
Romo Kieser dalam catatannya tentang tulisan Rahner ini mengatakan, “Pada karangan ini sekaligus terlihat ‘metode berteologi’ Karl Rahner – terutama dalam karangan-karangan yang terbit dalam Theological Investigations. (1)Karangan mulai dari pertanyaan sponsor, yang oleh Rahner dipertegas dan diperdalam; (2) untuk mengangkat pertanyaan itu, dibentangkannya kerangka pemikiran teologis dengan konteks tradisi kristiani; (3) pembahasan pertanyaan; (4) akhirnya mengarahkan pandangan pembaca pada hidupnya yang rohani-duniawi-gerejani.”
Maka untuk menggali isi “The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Relationship with God” dapat dipertanyakan: Manakah langkah-langkah karangan Rahner? Manakah keprihatinan yang diangkat Rahner? Langkah-langkah (perkembangan) lihat di bawah. Keprihatinan yang diangkat Rahner adalah orang menjadi sulit melihat dan menyadari keberadaan ontologis-eksistensialis realitas-realitas spiritual umumnya (para malaikat, para kudus, orang-orang yang sudah meninggal, bahkan keluarga, orang yang kita cintai) dan khususnya realitas Hati Kudus Yesus (sebagai pusat kemanusiaan Yesus).
Manakah pokok teologi dan manakah pokok kristologi yang Anda tangkap? Pokok teologi: paham Allah Kristiani versus Allah non Kristiani (Panteistik, Teofanistik, mungkin Platonistik) Pokok kristologi: menegaskan fungsi kepengantaraan (mediatorship) kemanusiaan Kristus (Tuhan yang mulia)
Adakah buah bagi hidup rohani tahun 2010 Mungkin di negeri kita pada umumnya (kita lihat saja lingkaran terdekat kita: orang tua, umat pada umumnya yang rajin ke gereja setiap hari atau setiap hari minggu) yang masih akrab menjalankan praktek kerohanian: adorasi, devosi-devosi kepada para kudus, teristimewa Bunda Maria, bisa kita katakan belum dirasakan oleh apa yang dicemaskan oleh Rahner. Masyarakat sekitar kita masih sangat mudah, peka menyadari dan mengakui eksistensi ontologis roh-roh halus cs – dan ini sangat membantu untuk mudah menyadari keberadaan para malaikat, orang kudus, saudara-saudara kita yang sudah meninggal.Tetapi, rasanya tidak bisa dielakkan kita akan bergeser ke perkembangan yang lebih lanjut (sesuai tahap-tahap perkembangan manusia ala Comte). Tahap rasional panteistik ala Hegel – yang bagi Feurbach itu tidak lain adalah antropoteistik, yang selanjutnya dinami ateistik – akan mulai lebih bisa diterima. (?). Jika ini benar, dan rasanya akan benar, maka Rahner menawarkan buah bagi hidup rohani 2010. Buah dalam arti membantu orang-orang modern ’untuk mengerti kristianitas dan untuk dapat menghayatinya’.
Sebagai pembanding atau sebuah contoh cara menganalisa tulisan Karl Rahner kita juga bisa melihat tulisan Florin Păuleţ SJ berjudul The Method in Karl Rahner, di mana ia menganalisa tulisan Rahner yang berjudul “The Theological Dimension of the Question about Man”. Demikian, paper ini juga mengikuti alur seperti diberikan oleh Romo Kieser dan Paulet.
Tentang Karl Rahner
”Father in faith, brother in faith, witness of faith – that was Karl Rahner, ” demikian kalimat terakhir kutipan Karl-Heinz Weger dari kata-kata seorang Jesuit (yang kemudian menjadi Provinsial) saat pemakaman Rahner. Kata-kata ini menyimpulkan hidup seorang Karl Rahner yang dilahirkan dalam sebuah keluarga saleh di Freiburg, sebuah kota di bagian barat daya Jerman, pada tahun 1904. Ia bergabung dalam Serikat Jesus pada usia 18 tahun. Setelah menjalani 10 tahun masa formasi sebagai Jesuit di berbagai tempat (Novisiat SJ di Feldkirch, studi filsafat di Feldkirch, Pullach, TOK di Feldkirch, studi teologi di Valkenburg), ia menerima tahbisan imamat pada tahun 1932.
Selama masa studi, Rahner berkenalan dengan Joseph Maréchal (1878-1944) seorang Jesuit Belgia, filsuf yang telah membuat karya tafsiran yang sungguh sulit dan kontroversial atas Thomas Aquinas, sekaligus orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tema-tema mistik. Rahner juga menghasilkan sejumlah besar karya pribadi dalam bidang sejarah teologi, khusunya mengenai sejarah silih dan sejarah teologi doa. Studi ini sangat berarti bagi Rahner. Pertama, studi sejarah teologi memberi Rahner suatu rasa yang kuat akan teologi Kristiani sebagai yang mempunyai suatu sejarah. Kedua, ini memberi Rahner – dan para teolog Katolik lain yang seangkatan dengannya – suatu cara baru memahami konsep tentang tradisi. Orang-orang yang menamai diri mereka sendiri tradisionalis dalam Gereja manapun biasanya ingin mempertahankan sesuatu sebagaimana adanya. Jika seseorang memahami tradisi sebagai sesuatu yang hidup, maka perubahan dibenarkan.
Sebagaimana biasa pada waktu itu, setelah tahbisan, Rahner melanjutkan formasinya dua tahun lagi termasuk masa tersiat di St. Andrä, Jerman. Kemudian pada tahun 1934 ia kembali ke kota kelahirannya, Freiburg, mengambil program doktoral di bidang filsafat, di mana salah satu professornya adalah Martin Heidegger. Setelah dua tahun studi ia menghasilkan sebuah karya yang amat sulit dan tebal berjudul Geist in Welt, suatu penelitian mengenai teori pengetahuan menurut Thomas Aquinas. Karena suatu alasan tertentu, tulisan tersebut gagal sebagai tesis doktoralnya dalam bidang filsafat, meskipun di kemudian hari diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pada tahun yang sama 1936 ia membuat tesis doktoral keduanya – kali ini dalam bidang teologi – di Innsbruck. Tesis kedua ini merupakan studi tentang teologi patristik dan teologi Hati Kudus. Karya ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan karya yang pertama.
Kemudian Rahner mulai mengajar di Innsbruck dan tetap di sana sampai Nazi menutup fakultas tersebut pada musim gugur tahun 1939. Selama perang tersebut, Rahner tinggal di Vienna, mengajar secara freelance. Ia juga mengajar para skolastik Jesuit dengan sembunyi-sembunyi untuk menghindari penangkapan pasukan Nazi. Pada tahun terakhir masa perang itu, ia menjadi pastor paroki desa di Bavaria. Setelah perang usai, dalam waktu yang singkat, ia mengajar di fakultas filsafat Jesuit Jerman di Munich dan kembali ke Innsbruck pada tahun 1948, di mana ia tetap sebagai pengajar teologi hingga tahun 1964.
Peristiwa utama dalam hidup Rahner kemudian adalah Konsili Vatikan II, yang berlangsung antara tahun 1962 hingga 1965. Rahner menjadi seorang tokoh dunia berkat Konsili tersebut. Ketika Konsili dimulai, Rahner berusia 60 tahun. Ia dikenal baik di negara-negara berbahasa Jerman, tetapi tidak di luar itu. Ia tak pernah bepergian keluar Jerman, Austria dan Belanda hingga ia berusia lebih dari 50 tahun. Ia ikut ke Konsili Vatikan II sebagai penasehat bagi Franz König, uskup Vienna yang kemudian menjadi Kardinal. Konsili tersebut menjadi kreatif; para teolog seperti Rahner, teolog asal Perancis Yves Congar dan Henri de Lubac menjadi tokoh-tokoh penting dan berpengaruh – meskipun tahun-tahun sebelum Konsili mereka dicurigai bahkan disilensiumkan.
Rahner sendiri mengalami kesulitan menerbitkan bukunya pada tahun 1962. Setelah Konsili selesai, Rahner mencurahkan seluruh tenaganya untuk menjelaskan Konsili dan mempromosikan pertobatan (perubahan) yang diamanatkan Konsili tersebut. Rahner menjadi simbol, menjadi acuan bagi suatu perubahan institusional yang menggerakkan dalam sebuah institusi yang telah dianggap tak bisa berubah. Esai-esainya yang lebih singkat diterbitkan dan frekwensi memberi ceramah meningkat; ia diberi dukungan sekretariat yang penuh untuk yang pertama kali sepanjang karirnya, dan ia menggunakannya secara penuh. Ia menjadi semacam ikon intelektual bagi kekuatan perubahan dalam Katolik Roma. Ia dikagumi, dihormati, dipuji secara mendalam, bahkan dicintai dan diidolakan. Pada tahun 1964, ia pindah dari Innsbruck ke Munich, dan tiga tahun kemudian ke Münster, di Jerman bagian utara. Ia pensiun pada tahun 1971, pada usia standar 67 tahun; lalu ia sibuk menulis dan memberi ceramah di seluruh dunia. Pada tahun 1981, Rahner istirahat dengan kembali ke Innsbruck, dan meninggal dunia 3 tahun kemudian.
Tentang Metode Transendental Rahner
Menurut Karl-Heiz Weger, tujuan utama (main objective) Karl Rahner adalah ”to overhaul the tradition of neo-scholastic theology.” Rahner memeriksa secara seksama tradisi teologi neo-skolastik, dan akhirnya “Rahner give up this trend”.
Emangnya seperti apa sih teologi neoskolastik, sehingga membuat Rahner meninggalkannya (melampauinya?)?
Karl-Heinz menggambarkan teologi neoskolastik demikian: “Neo-Scholastic theology suffered from excessive positivism regarding revelation: the message of Christian revelation as enshrined in the Scripture and Tradition, and shaped through centuries of theological thought and moulded into fixed formulas, had to be communicated to the faithful, without any regard for the prospective receiver (or addresser) of this revelation and her or his life – situation and attitudes.” Positivisme teologis terjadi, kalau hanya dicari pendukung dan lawan pendapat-pendapat, tanpa sungguh menggali soalnya, demikian Heijden menjelaskan arti positivisme dalam teologi. Dan Heijden mengatakan “Kritiknya [Rahner] terhadap ‘teologi sekolah’ itu pedas: telah menjadi beku, mengulangi tanpa berpikir, mabuk distinksi konseptualistis, dls.” “Tetapi Rahner juga menangkap hal-hal yang baik yang tercantum di dalam tradisi teologis itu. Rahner tidak membuang tradisi, tetapi mencari, ‘insight’ manakah yang aslinya ada di belakangnya. Di tengah banyak alang-alang, Rahner mencari bunganya.”
Rahner sedemikian sadar bahwa alamat wahyu ilahi adalah pribadi manusia, a subject of fundamental anthropological experiences which remain constant, and of trancient or “ephocal” experiences. Rahner percaya bahwa wahyu bisa menjangkau sendiri manusia dengan suatu cara yang meyakinkan jika these “ephocal” experiences diperhitungkan. Untuk itu Rahner mengembangkan metode antropologis, yaitu an analysis of the thought-pattern of contemporary humanity as the starting point of the theological investigation.Ia menamai metode teologinya dengan istilah “transcendental anthropology”. Menurut Florin Păulet, SJ, esensi metode transendental Rahner adalah ”the man through his questions, knowledge, and especially through question about himself (the radical form) enters in contact with transendence, God.” Adalah krusial bagi Rahner “the consideration of the spiritual condition of modern person, whom the gospel has to reach.” Teologi Rahner berputar di sekitar kondisi masyarakat kontemporer – alamat wahyu Kristiani. Semoga catatan ini membantu memahami salah satu karangan Karl Rahner “The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Relationship with God”
Tentang “The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Relationship with God”
Mengikuti langkah-langkah Florin Păulet, SJ, mari kita mencoba mendalami tulisan Rahner ini:
1. Isi
Kita andaikan saja dulu bahwa isi teks tersebut adalah sebagaimana kata-kata judulnya: mengenai makna kekal kemanusiaan Yesus dalam hubungan kita (manusia) dengan Allah. Pertanyaannya: maknanya apa? Di paragraf terakhir teks Rahner ini ditegaskan bahwa ”Hati” ini sungguh berarti hati manusiawi … hati inilah sebagai pusat yang memediasi (mengantarai), sebagai pusat pengantara (mediasi), melalui yang mana jika sungguh mau sampai pada Allah, (gerakan) kita harus melalui-Nya (hati tersebut.
2. Metode
Metode apa yang Rahner gunakan dalam teks ini? Bagaimana ia bekerja? Bagaimana ia mengembangkan idenya? Apa langkah-langkahnya? Inilah pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk melihat bagaimana Rahner menampilkan penelitian teologis dalam tema tertentu di teks ini. Metode ini mencakup: konteks, kepada siapa tulisan Rahner ini ditujukan; langkah-langkah yang Rahner ikuti sepanjang teks; bahasa; sumber; kristologi; dan teologi yang tampil dalam teks tersebut.
A. Konteks
Teks “The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Relationship with God” pertama kali muncul (ditulis) pada tahun 1953; dimuat dalam Geist und Leben 26 (1953), hlm. 279-288. Dari sini kita bisa memastikan bahwa alamat tujuan karangan Rahner ini adalah para pembaca Geist und Leben. Siapa pembaca Geist und Leben? Kaum religius, dengan tingkat pendidikan tertentu dalam teologi? Dari tingkat kerumitan bahasanya, pembaca diandaikan memiliki pendidikan teologi dan filsafat. Dari waktu terbitnya, ini berarti masa sebelum Konsili Vatikan II.
B. Perkembangan
Sebagaimana dikatakan Romo Kieser “Pada karangan ini sekaligus terlihat ‘metode berteologi’ Karl Rahner – terutama dalam karangan-karangan yang terbit dalam Theological Investigations. (1) Karangan mulai dari pertanyaan sponsor, yang oleh Rahner dipertegas dan diperdalam; (2) untuk mengangkat pertanyaan itu, dibentangkannya kerangka pemikiran teologis dengan konteks tradisi kristiani; (3) pembahasan pertanyaan; (4) akhirnya mengarahkan pandangan pembaca pada hidupnya yang rohani-duniawi-gerejani.” Adakah alur ini dalam karangan tersebut? Mari kita lihat teksnya!!!! Tulisan ini dibagi dua: I mulai paragraf pertama sampai paragraf ke delapan; dan II mencakup paragraf 9 sampai paragraf 19. Gaya penulisan Rahner dalam karangan ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Setidaknya saya menemukan 20 tanda tanya di bagian I, 4 tanda tanya di bagian II (paragraf 17 akhir 1 dan di paragraf 18 ada 3). Mungkin ini namanya model investigatif, sehingga tulisan-tulisan Rahner dijuduli ”Theological Investigation”. Florin Păulet, SJ mengatakan ”The style of Rahner’s writing from the beginning and throughout it is based methodologically on the questions. The questions are an aspect of his method in doing theology. He always introduced an issue through some questions and then is proceeding for finding the answer.” Metode ini juga bisa kita lihat dalam “The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Relationship with God”. Topik yang diinvestigasi Rahner di sini adalah praktek devosi Hati Kudus Yesus. Di kalimat pertama, Rahner memaparkan hal-hal yang normatif umum dilakukan dalam teologi; lalu kalimat berikutnya ia langsung mengungkapkan apa yang ia mau, sebuah pertanyaan yang terlupakan oleh refleksi teologis selama ini. Sebuah pertanyaan yang sulit dan obscure; yang memformulasikannya saja sulit, apalagi jawabannya. Pertanyaan sulit dan obscure itu adalah: “whether the adoration we actually give does in fact reach what we call the heart of Jesus?” Apakah dalam adorasi Hati Kudus Yesus yang kita lakukan, kita sungguh berjumpa dengan Hati (Kudus) Yesus? Seluruh penjelasan-penjelasan berikut dan pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan berikutnya diuraikan Rahner untuk memberikan jawaban atas pertanyaan sulit dan obscure ini.
Jawabannya sulit dan obscure juga – menurut pengakuan Rahner sendiri. Jadi, kalaupun kita merasa sangat sulit memahami teks Rahner ini, Rahner tahu dan sebelumnya telah memastikan bahwa itu sulit. Lalu? Berhenti atau membaca dan membaca lagi? Ada kata-kata penghiburan dari Dr. Bert van der Heijden, SCJ: ”Membaca Rahner, meskipun sukar, tetap berguna … Sebab membaca seorang teolog yang sungguh-sungguh melatih kita untuk berpikir teologis sendiri …” Maka mari kita lanjutkan membaca, ha…ha…ha…
Setelah merumuskan persoalan pokoknya, Rahner memaparkan uraian-uraian yang diharapkan membantu pembaca untuk memahami pertanyaan sulit itu. Jadi untuk memahami pertanyaan itu saja (belum ke jawaban yang sulit itu, sebab jawaban sulit baru akan dimunculkan mulai paragraf 10, itupun hanya berupa konribusi kecil) mencakup hingga paragraf 9. Di paragraf 2, Rahner menampilkan pandangan umumnya tentang realitas (sebuah ontologi?). Dan realitas itu adalah realitas yang (sejauh) dialami manusia: dunia dan Allah. Tidak ada realitas di luar dua kategori ini. Dunia itu adalah, yang dipahami sebagai dunia sekitar kita, mencakup segala sesuatu yang menghadirkan dirinya sendiri secara langsung kepada kita, segala sesuatu yang dalam adanya sendiri masuk ke dalam dunia pengalaman kita, quite of its own accord and in itself. Dan Allah itu adalah Allah, di sisi lain [dari dunia], Yang satu ‘yang di sisi lain’; Ia adalah Suatu yang diketahui/dikenal sebagai Suatu yang jauh, yang hadir melalui his not being given, yang hadir melalui ketakterpahaman-Nya (misteri-Nya) dan diam-Nya. Namun sungguh Ia telah menyapa Kristen (orang beriman) dalam wahyu-Nya; Ia telah membuat diri-Nya bisa diperlihatkan di antara kita di bawah sini, bahkan pada tataran daging terindera dari Putra-Nya yang sehakikat.
Rahner melanjutkan, bahwa pandangan tersebut memunculkan pertanyaan: ke kelompok manakah – dari dua pembagian utama tersebut – para kudus, para malaikat, kemanusiaan Kristus yang mulia, dan hati-Nya? Jawabannya 2: dunia dan Allah. Jawaban kedua – bahwa mereka dikategorikan dalam bagian Allah – memunculkan pertanyaan lain: ”can they belong to God?” Apakah para kudus, para malaikat, kemanusiaan Kristus yang mulia, dan hati-Nya bisa menjadi bagian dari realitas Allah? Rahner menerangkan maksud pertanyaan ini demikian: yang dimaksud adalah apakah kita mencapai mereka dengan tindakan-tindakan kita, apakah kita tidak hanya mengetahui mereka secara teoritis, bisakah kita juga menyadari eksistensi mereka dalam persatuan kita dengan mereka?
Awal paragraf 5 Rahner mengingatkan pembaca supaya jangan menganggap caranya ini hanyalah sebuah kerumitan artifisial yang diformulasikan secara muter-muter (ha…ha…ha, dan memang terasa rumit dan muter-muter!!!!, bukankah juga anda merasakannya saat membaca teks ini?).
Pembaca mungkin akan menggerutu: kita tahu bahwa pribadi-pribadi dan realitas tersebut eksis; secara intensional kita bisa terhubung dengan mereka, dan ini mempunyai makna dan manfaat; kita tidak hanya bisa melakukan itu, tetapi juga kenyataannya kita melakukan itu: dan anda tidak bisa menyangkal fakta. Gerutu para pembaca ini langsung disambar Rahner dengan pertanyaan baru: persis inilah pertanyaan itu: apakah kita sungguh melakukan apa yang kita pikir kita lakukan? Atau jangan-jangan nama-nama para kudus, para malaikat dan kemanusiaan Kristus, just so many changing labels for us by which we – quoad nos – hanyalah satu dan hal yang sama, which is conjured up by them, yaitu Allah? Nampak di sini Rahner mengajak pembaca untuk sungguh-sungguh memilah eksistensi ontologis Allah di satu sisi dari eksistensi ontologis personal masing-masing realitas spiritual (makhluk rohani). Lalu Rahner mengajak pembaca untuk tidak melihat pertanyaan ini sebagai suatu prinsip teoritis belaka, tetapi sebagai sebuah pertanyaan yang sedang kita hadapi (dihadapi pembaca) saat ini!
Hayoooo. Dengan ini Rahner mulai ’mengikat’ para pembaca. Rahner membandingkan kita masa kini dengan orang pada masa-masa sebelumnya. Orang pada masa-masa sebelumnya boleh jadi telah memiliki suatu kapasitas untuk memikirkan kekuatan-kekuatan dan pribadi-pribadi spiritual tersebut di luar Allah, yang pada tataran tertentu mereka ada dalam bahaya tergelincir ke politeisme teoritis atau paling tidak praktis. Dan Rahner lalu menegaskan: Bukankah persis sebaliknya pada kita? Persoalan kita adalah bukankah segalanya, yang kita lestarikan dari ajaran-ajaran objektif tentang iman dalam hal ini, reducible ke nama-nama yang berbeda selalu berarti hal yang sama, yaitu Allah, satu-satunya ada yang masih tersisa yang melampaui pengalaman duniawi inderawi kita, dan yang masih tertinggal bagi kita bahkan setelah hilangnya semua realitas-realitas spiritual tersebut? Lalu Rahner mengajukan pertanyaan-pertanyaan interogatif-investigatif kepada pembaca: siapa di antara kita yang pernah sungguh-sungguh dan secara jujur menyadari dalam Confiteor mengakukan dosa-dosanya kepada Malaikat Agung Mikael, dan bahwa ini sungguh bukan hanya sebuah amplifikasi retoris sebuah pengakuan kepada Allah? Bukankah kita sesungguhnya telah kehilangan penglihatan akan keluarga kita yang meninggal? Jawaban jujur kita menurut Rahner adalah barangkali kita berdoa bagi mereka, karena tersebut wajar dilakukan dan kalau kita tidak mendoakan mereka kita merasa ga enak. Rahner mengatakan, jika kita jujur mengakui, mereka telah berhenti ada bagi kita. Lalu Rahner menegaskan tesis keyakinannya: secara ontologis dan eksistensial ini tidak akan mungkin terjadi jika kita sungguh memiliki relasi tersebut dengan orang kudus yang kita pikir kita miliki: karena ini secara fundamental berlaku pada relasi kita pada umumnya dengan mereka yang telah meninggal. Kemudian Rahner bahkan mempertanyakan traktat teologis yang biasa, mengenai Hal-hal Terakhir, mengenai kebahagiaan kekal: Apakah traktat semacam itu menyebut bahkan sepatah kata pun mengenai Tuhan menjadi manusia? Bukankah segala sesuatu ditelan oleh visio beatifica, penglihatan beatifik, ditelan oleh relasi langsung pada hakikat Allah yang secara historis sesungguhnya ditentukan oleh suatu kejadian masa lampau – yaitu peristiwa Kristus – tetapi yang sekarang tidak dimediasikan oleh Jesus Kristus? Menurut Rahner Teologi yang biasa saat ini pun memperlihatkan bahwa seluruh dunia (dalam arti objektif) adalah ’inexistent’ dan seolah-olah ditelan oleh ’the blazing abyss of God’, bahkan ketika kita tidak menerima ini untuk diri kita sendiri. Lalu Rahner menanyai: Siapa di antara generasi yang lebih muda saat ini masih sungguh berdoa kepada para kudus … kepada nama santo pelindungnya, kepada malaikat pelindungnya???
Ha…ha…ha…, jadi teringat email kiriman Romo Kris Tabik tentang wawancara Radio Vatikan dengan seorang Jesuit (Proffesor Spiritualitas di Gregoriana) dan seorang imam anglikan yang sedang akan mengadakan kursus tentang spiritualitas Ignasian bagi orang-orang anglikan. Jesuit itu kira-kira berkata demikian: Ignatius tidak mendapat relasi personal dari para pengikutnya (para Jesuit) sebanyak para pendiri ordo lain (Benediktus, Fransiskus, Dominikus) dari para benediktin, fransiskan, dominikan. Sepertinya para Jesuit ini adalah yang ditunjuk Rahner di sini.
Rahner mengatakan, orang barangkali masih menghormati orang kudus yang dikenalnya secara historis, dalam realitas historisnya, sama seperti orang-orang kafir menghormati orang-orang besar historis mereka. Tetapi apakah orang kudus yang hidup sekarang merupakan realitas yang disadari – yaitu diterima tidak hanya secara teoritis – bagi kita di sebelah dan beda dari Allah, suatu realitas yang memiliki aktualitasnya sendiri yang independen, yang pada kehendak baiknya sesuatu tergantung, dengannya orang mencoba mengusahakan kontak personal? Dengan penjelasan, pertanyaan-pertanyaan, posisi-posisinya, situasi-situasi kita yang disebutkan di atas, Rahner merasa bahwa kita, para pembaca, barangkali sekarang sudah memahami apa yang dimaksud – melalui pertanyaan pengantar kita – tentang Hati Kudus Yesus.
Hayoooo, apa benar sudah memahami???? Atau malah tambah bingung??? Paling tidak ada yang kita pahami sithik hahahaha.
Lalu Rahner menegaskan Hati ini … adalah suatu hati manusiawi. Bagi Rahner, Hati Kudus – hati manusiawi Yesus harusnya bukan hanya objek adorasi terhadap masa lalu yang mengacu pada Tuhan historis selama hidup-Nya di dunia ini. Hati ini, eksis sekarang, yang tidak lagi bagian dari dunia sekitar kita, yang kelihatannya hilang dalam jarak jauh Allah … hati ini dihormati,dan dicintai. Tetapi kemudian Rahner mulai meragukan pernyataan-pernyataan tersebut, tanyanya: Apakah sedemikian kasat mata bahwa kita akan berhasil dalam hal ini? Lagi: fakta bahwa hati ini sungguh eksis, bahwa kita tahu tentangnya dan bahwa kita mampu dalam hal disermen teoritis mengenai kepantasannya akan penghormatan, bahwa kita pikir kita menghormatinya dan ingin menghormatinya … semua ini belumlah suatu kepastian yang mutlak, jawaban afirmatif atas pertanyaan ini.
Terus bagaimana???
Lanjut Rahner, yang dibutuhkan (kita butuhkan) hanyalah mendengarkan lebih sungguh-sungguh formulasi-formulasi tertentu yang terjadi dalam devosi Hati Kudus yang diintensikan secara baik, yang sesungguhnya adalah penghormatan akan Allah monoteistik yang sekedar dilabeli dengan kata-kata hati kudus; lalu kita akan menyadari bahwa pertanyaan semacam itu tidak mudah bisa dijawab secara afirmatif. Orang bisa – dalam formulasi-formulasi demikian itu – sekedar mengganti kata ’hati’ dengan ’Kristus’, dan ’Kristus’ lagi dengan ’Allah’, tanpa sesuatupun yang berubah dalam makna atau intensionalitas esensial dari doa itu.
Dari posisi ini, Rahner bergeser ke pertanyaan lanjutan: Pertanyaan yang telah kita tempatkan, tentu saja, berubah sekaligus ke dalam pertanya praktis: jika ini bukan soal bahwa tindakan religius menggapai Hati Kudus itu sendiri, dalam keterbedaannya dari Allah, lalu bagaimana ini bisa dicapai? Untuk menjawab pertanyaan ini, Rahner mengakui bahwa yang bisa dilakukan hanyalah mencoba memberi sedikit kontribusi jawaban. Dan kontribusi jawaban yang sedikit itu mencakup dua hal (dua bentuk refkesi), yaitu: pertama, refleksi atas relasi antara realitas spiritual tercipta dan Allah; dan kedua, refleksi atas kemanusiaan Kristus dan hati manusiawi-Nya. Kiranya bisa dilihat dalam teks, bahwa penjelasan Rahner atas refleksi yang pertama mulai dari paragraf 11 hingga 15; dan penjelasan atas refleksi bagian kedua dimulai di paragraf 16.
1. refleksi atas relasi antara realitas spiritual tercipta dan Allah
Rahner mengatakan bahwa ketidakpekaan eksistensial kita akan dan kelemahan kita menyadari realitas-realitas non ilahi ………… terjadi – paling tidak sebagian – karena suatu kesalahan pemahaman akan Allah, yaitu Allah yang bukan kristiani, yang panteistik, dan yang teofanistik. Rahner menampilkan perbedaan Allah Kristiani dan Allah bukan Kristiani. Paham Allah bukan Kristiani disebutkan Rahner di sini adalah paham yang panteistik dan yang teofanistik.
Rahner menegaskan bahwa Allah yang benar adalah bukan Allah yang membunuh sehingga Ia sendiri bisa hidup. Dia bukan vampir yang menarik ke dirinya sendiri dan menyedot/menghisap realitas yang berbeda dariNya; Dia bukan the esse omnium (yang memakan segalanya). Sedangkan Allah Kristiani bagi Rahner adalah Allah yang Semakin dekat orang datang kepada-Nya, menjadi semakin real-lah orang itu; semakin Ia bertumbuh dalam dan di hadapan orang, semakin bebaslah orang itu menjadi dirinya sendiri. Rahner mengakui bahwa memang kita merasakan situasi paham Allah yang bukan Kristiani di atas. Kondisi eksistensial mendasar manusia ini (yang disebabkan oleh paham akan Allah yang non Kristiani), merupakan kesombongan yang bersumber dari dosa asal dan sesuatu sungguh bukan kristiani. Rahner mengatakan bahwa orang yang menganut paham Allah yang panteistik/teofanistik yang non Kristiani] mencintai ’sang Absolut’, tetapi bukan Allah pencipta langit dan bumi. Pada dasarnya mereka ini membenci realitas tercipta, karena realitas tercipta itu tidak absolut pada dirinya; menyebutnya suatu yang relatif, kontingen, yang – dalam hubungannya dengan Allah – bisa ditentukan dalam arti hanya negatif, hanya keterbatasan ada yang dalam dirinya sendiri tak terbatas. Mereka ini lupa bahwa persis realitas yang terkondisi inilah yang dicintai tanpa syarat oleh Sang Tanpa Syarat, dengan realitas tersebut memiliki validitas yang membuatnya lebih dari sekedar sesuatu yang bisa dilihat – sesuatu yang menghilang di wajah Allah dalam hubungan dengan-Nya.
Hal ini mengingatkan kita pada salah satu tema pembahasan kuliah Metafisika (Ontologi) tentang dinamika pengada, awal dan akhirnya dalam buku Anton Bakker ‘Ontologi, Metafisika Umum’.
Rahner mengingatkan bahwa penjelasan di atas bukanlah sekedar ungkapan-ungkapan ontologis yang tidak ada gunanya bagi tindakan religius. Tidak, ketika kita bertemu muka dengan Yang Absolut melalui suatu tindakan religius dalam gerak kesadaran (penyadaran) eksistensial kita – dan jika kita melakukan ini dalam artian Kristiani, kita berhadapan muka dengan cinta yang telah diciptakan oleh Sang Cinta itu: realitas hidup, kekal, valid, yang sesungguhnya, persis karena ia ada melalui Sang Cinta ini. Kita sampai ke yang memiliki makna dari dirinya sendiri, yang tidak bisa dilenyapkan. Lalu ketika kita memasuki suatu jalan religius kepada Allah Cinta tak terbatas akan realitas tercipta, maka kita harus mencintainya sebagaimana ia ada. Kita harus mencintai segala sesuatu yang dicintai-Nya dengan cinta-Nya, dan harus mencintainya dengan cara yang tepat – bukan sebagai sesuatu yang sementara, seperti awan yang, pecah konturnya, menghilang dengan kehadiran infinitas yang terbuka di hadapan kita – tetapi sebagai sesuatu yang valid dalam pandangan Allah, sebagai sesuatu yang dibenarkan secara kekal dan dengan demikian sebagai sesuatu yang bermakna secara ilahi dan religius di hadapan Allah.
Setelah memperlihatkan pebedaan antara paham Allah Kristen dan paham Allah non Kristen (panteistik-teofanistik), Rahner menegaskan bahwa suatu dunia spiritual yang pluralistik menemukan makna dan pembenarannya dalam pandangan Allah Kekristenan. Dan usaha untuk menggenggam kebenaran ini merupakan usaha untuk melampaui pandangan kita yang tak krisitiani dan suatu usaha untuk menyelesaikan dilema yang melemparkan kita pada pilihan: Allah atau dunia. Rahner menegaskan bahwa pemujaan – yang memperbudak, yang politeistik, atau ternodai secara politeistik – pada kekuatan-kekuatan dan daya-daya dunia ini hanyalah sisi lain mata uang yang sama dari dilema rasa bersalah: hakikat mistik dari dunia tanpa Allah yang hidup, yang satu itu. Tetapi yang muncul: ketanpa-Allahan dunia ini. Mungkin Rahner mau mengatakan politeisme sama saja dengan panteisme. Saat ini kita ada dalam bahaya membiarkan dunia itu sendiri tanpa Allah. Sikap kristiani, biar bagaimanapun, akan menghormati dunia sebagai sesuatu yang dikehendaki dan dicintai Allah, dan melakukan penghormatan ini dengan cara yang seimbang, sebab cinta yang diberikan kepada dunia ada dalam aneka tataran; demikian, akan menjadi kristiani, memberi penyembahan yang sungguh religius di mana dunia telah menemukan finalitas dari validitas kekalnya di hadapan Allah dalam para malaikat dan para kudus. Dengan demikian, Rahner menegaskan seharusnya tugas teologi adalah untuk memikirkan jauh lebih dalam lagi, dan dengan cara yang jauh lebih vital lagi – dari pada apa yang telah dilakukan sampai sekarang -mengapa, bagaimana dan dalam apa ketergantungan tindakan-tindakan religius yang dasariah pada Allah, apa yang disebut dulia (veneration/penyembahan), dipertentangkan dengan latria (adoration/penghormatan), sebenarnya merupakan tindakan religius yang benar, dan bagaimana, suatu tindakan demikian itu bisa dan harus dijalankan secara lebih bebas. Bagi Rahner pertanyaan tentang apakah orang masih bisa melihat realitas-realitas yang lain di samping realitas Allah secara serius dan menyadari realitas-realitas itu dalam suatu tindakan religius merupakan sebuah pertanyaan paling utama dalam pemikiran Kristiani. Kata Rahner bahwa walaupun dalam kesalehan biasa ini bukan persoalan utama, itu tidak berarti pernyataan Rahner ini melawan realitas kesalehan yang biasa itu. Atau realitas kesalehan yang biasa itu tidak bertolak belakang dengan pernyataan Rahner tersebut. Menurut Rahner, dalam kesalehan biasa, Allah dari permulaan merupakan satu realitas di samping realitas-realitas yang lain; kesalehan ini secara alamiah tidak mengalami kesulitan apa pun. Santo Antonius adalah tokoh yang paling layak diperhatikan, penting, dan efektif, ada di sebelah Roh Kudus.
Devosi pada Santo Antonius tidak mengurangi Allah dan tidak mengurangi relasi kita yang benar dengan Dia yang tidak mentoleransi dewa-dewa asing lain di hadapan-Nya. Tetapi ketika Allah menjadi semakin Allah yang benar bagi kita – Api yang melahap, Sang yang tak terbandingkan, Ia yang dalam rahmat-Nya telah menjadi dekat setelah ada pada jarak yang paling jauh – maka relasi yang dewasa dengan Allah akan tetap mampu mengenali dan menyadari dalam Api yang membakar dan Cahaya yang membutakan realitas yang lain dicintai oleh-Nya bahkan semakin real, bahkan semakin benar dan valid; dan di Lautan api tanpa batas dari tataran tak terhingga, segala sesuatu tidak dirusak, melainkan segala sesuatu menemukan hidupnya yang benar, tidak hanya dalam dirinya tapi juga bagi kita. Menurut Rahner tugas kitalah melakukan usaha untuk menggapai itu. Rahner melanjutkan bahwa meninggalkan ciptaan adalah fase yang pertama dalam usaha menemukan Allah. Namun ini hanyalah langkah pertama. Melayani ciptaan-ciptaan sebagai misi menarik diri dari Allah untuk kembali masuk ke dunia, fase kedua. Namun, masih ada yang ketiga: menemukan ciptaan itu sendiri, dalam dependensi dan otonominya, dalam Allah, di tengah-tengah ’the jealously burning inexorableness’ ada-Nya semua dalam semua; menemukan ciptaan bahkan di tengah-tengah Ini sendiri – yang kecil dalam yang besar, yang terbatas dalam yang tak berbatas, ciptaan (ciptaan itu sendiri) dalam Pencipta – hanya inilah fase ketiga dan tertinggi relasi kita dengan Allah. Karena di sana kita yang telah keluar dari dunia kepada Allah, kembali bersama-Nya dalam masuk-Nya ke dalam dunia, dan paling dekat kepada-Nya di sana di mana ia paling jauh dari diri-Nya sendiri dalam cinta-Nya yang sungguh akan dunia; di sana dan dalam ini kita paling dekat kepada-Nya karena, jika Allah adalah kasih, orang menjadi paling dekat kepada-Nya di mana, setelah memberikan diri-Nya sendiri sebagai cinta kepada dunia, itu berarti ia paling jauh dari dirinya sendiri.
2.refleksi atas kemanusiaan Kristus dan hati manusiawi-Nya
Melangkah ke refleksi yang kedua ini, Rahner menegaskan bahwa dalam kerangka yang dipakai di atas – yang menjelaskan relasi antara realitas spiritual tercipta dengan Allah – jugalah pertanyaan khusus mengenai menghormati kemanusiaan Kristus secara umum dan hati manusiawi-Nya secara khusus harus dilihat. Bagi Rahner, fakta bahwa Allah sendiri adalah manusia merupakan pertemuan yang unik dan dasar relasi Allah dengan ciptaan-Nya, di mana Ia dan ciptaan-Nya berkembang secara berbanding lurus. Hakikat positif ciptaan ini, tidak hanya diukur dalam relasi dengan ketiadaan tetapi juga dalam relasi dengan Allah, mencapai puncaknya yang secara kualitatif unik dalam Kristus. Karena, menurut kesaksian iman, hakikat manusiawi tercipta ini adalah pintu masuk kekal dan mutlak yang melaluinya segala sesuatu yang tercipta harus lewat jika ia mau menemukan kesempurnaan validitas kekalnya di hadapan Allah. Dialah gerbang dan pintu, Alpha dan Omega, yang merangkul segalanya, padanya, sebagai yang telah menjadi manusia, semua ciptaan menemukan stabilitasnya. Siapa yang melihat Dia, melihat Bapa, dan siapa yang tidak melihat Dia – Allah menjadi manusia – juga tidak melihat Allah.
Rahner mengingatkan bahwa kita boleh bicara mengenai Sang Absolut yang impersonal tanpa daging yang tak absolut dari Putra, tetapi Sang Absolut yang personal bisa ditemukan sungguh-sungguh hanya dalam Dia, pada-Nya tinggal kepenuhan Allah Bapa dalam perahu duniawi kemanusiaan-Nya. Rahner menegaskan, tanpa Dia, segala yang absolut yang kita bicarakan atau yang kita bayangkan kita gapai dengan penerbangan mistis akhirnya hanyalah yang tak pernah digapai, hanyalah infinitas kosong, gelap yang secara putus asa menelan segalanya yang kita adalah kita sendiri: infinitas dari keterbatasan yang tak terpuaskan, tapi bukan infinitas bahagia kepenuhan yang sungguh-sungguh tak terbatas. Bagi Rahner, Allah Absolut yang personal, hanya bisa ditemukan di ada Yesus dari Nasaret, ada konkrit yang terbatas ini, ada kontingen ini, yang tetap ada dalam segala kekekalan.
Akhirnya Rahner tiba ke tahap puncak investigasi teologisnya dengan mengatakan bahwa faktor yang menentukan bagi pertanyaan mendasar dari seluruh refleksinya dalam teks “The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Relationship with God” adalah bagaimanapun sebagai berikut: Yesus, Sang Manusia, tidak hanya dulu pada satu waktu penting sekali bagi keselamatan kita, untuk menemukan yang sungguh Allah yang absolut, dengan tindakan-tindakan historis-Nya di salib dan sekarang di masa lalu, dan lain-lain, tetapi – sebagai Ia yang menjadi manusia dan tetap sebagai ciptaan – Dia sekarang dan untuk selamanya adalah keterbukaan yang senantiasa dari ada kita yang terbatas kepada Allah tak terbatas yang hidup, hidup kekal; Ia, bahkan dalam kemanusiaan-Nya adalah realitas tercipta bagi kita yang bertahan dalam tindakan agama kita sedemikian rupa sehingga tanpa tindakan (ini) terhadap kemanusiaan-Nya dan melalui itu (secara implisit atau eksplisit), tindakan religius dasariah terhadap Allah tak akan pernah bisa mencapai tujuannya. Orang selalu melihat Bapa hanya melalui Yesus. Perjumpaan langsung dengan Allah bukanlah suatu penyangkalan akan kepengantaraan Kristus sebagai manusia.
Kata Rahner, pada umumnya kita hanyalah merefleksikan kepengantaraan historis dan moral Anak Manusia selama hidup-Nya di dunia. Akibatnya kemanusiaan Kristus menjadi tidak penting bagi kesadaran religius iman kita. Rahner mengingatkan bahwa para teolog tidak kebal dari bahaya menyangkal atau dengan diam-diam menekan kebenaran-kebenaran iman dengan tipu muslihat yang rasionalistik filosofistik. Setiap teolog seharusnya mengijinkan dirinya sendiri untuk ditanyai: apakah anda memiliki teologi di mana Sabda – dengan kenyataan bahwa Ia adalah manusia dan sejauh dia adalah ini – merupakan pengantara yang kekal dan niscaya keselamatan semua, bukan hanya pada waktu tertentu di masa lalu tetapi sekarang juga dan untuk selamanya? Seharusnya ditunjukkan bahwa pertanyaan kritologis mengenai tindakan religius dasaraiah kita, tidak hanya menandakan bahwa orang bisa juga memuji Yang Satu yang telah menjadi manusia, ini bahkan ada dalam hakikat manusiawi-Nya. Dalam Sabda yang menjelma, Allah telah mengkomunikasikan diri-Nya sendiri kepada dunia, sehingga Sabda ini tetap Kristus secara kekal.
Di bagian akhir teksnya Rahner kembali ke pertanyaan awal dengan mengatakan, Jika demikian, lalu pertanyaan yang mengawali refleksi kita ini di sini paling tidak bisa dijawab sedikit lebih jauh. Maka Rahner menjelaskan lebih jauh demikan: Jika ’Hati Yesus’ berarti pusat original realitas manusiawi Putera Allah, lalu pasti ada suatu tindakan religius dasariah yang diperantarakan dan disambungkan oleh pusat ini kepada Allah. Lalu ”Sang Hati” tidak hanya sebuah nama atau hanya sebuah kata kosong dalam tindakan tersebut. ”Hati” ini sungguh berarti hati manusiawi. Inilah apa yang yang sesungguhnya dimaksud : kepada-Nya tindakan-tindakan kita sungguh terhubungkan dan itu sungguh hadir bagi kita dan bukan hanya dalam diri-Nya sendiri. Hati inilah dalam terbatas-Nya, dalam kejernihan cinta-Nya yang dapat didefenisikan terbedakan – meskipun tidak terpisahkan – dari misteri cinta ilahi, yang dalam diri-Nya bisa berlabuh dalam jurang asal-usulnya baik rahmat dan penghakiman, belas kasih dan kemarahan. Misteri cinta ilahi yang menjadi cinta bagi kita hanya sekali (dan karena) ia telah menjelmakan diri-Nya sendiri dalam hati Yesus, dalam daging dari daging kita dan dalam keterhinggaan eksistensi kita. Inilah hati itu yang berarti: hati ini sendiri, diambil baik sebagai objek dan tujuan, atau lebih tepat, sebagai pusat yang mengantarai, sebagai pusat mediasi, melalui yang mana semua gerakan kita harus lewat jika sungguh mau sampai pada Allah. Ut apertum cor … piis esset requies et poenitentibus pateret salutis refugium … (sehingga hati yang terbuka … boleh menjadi tempat beristirahat bagi orang saleh dan terbuka terhadap silih sebagai pengungsi keselamatan … ).
Hati tersebut bukan hanya pusat original dari manusia Tuhan kita, tetapi bahkan merupakan pusat mediasi, tanpa melalui-Nya tak akan ada yang sampai kepada Allah. Bagi Rahner, kata-kata manusiawi menjadi amat-amat tidak mencukupi di sini – orang tak pernah bisa meninggalkan pintu masuk ini di belakang sebagai sesuatu dari masa lampau. Orang tiba secara terus-menerus lewat melalui pusat yang mengantarai kemanusiaan Kristus. Kata Rahner, ini merupakan analogis untuk fakta bahwa kita sendiri tak pernah berhenti sebagai ciptaan-ciptaan bahkan ketika kita menjadi yang ambil bagian dalam Allah Bapa. Orang bisa menjadi Kristen tanpa pernah mendengar apapun dalam kata-kata manusia tentang Hati Kudus Yesus. Tetapi mereka tak dapat menjadi seorang Kristen tanpa secara terus-menerus lewat, dengan gerakan roh yang didukung oleh Roh Kudus, melalui kemanusiaan Kristus dan, dalam kemanusiaan itu, melalui pusatnya yang menyatukan yang kita namai hati.
C. Sumber-sumber
Mengikuti kata-kata Florin Păuleţ SJ, dari teks ini barangkali kita juga bisa berkata bahwa Rahner adalah seorang teolog yang membangun teologinya di atas sebuah metode yang tidak mengacu banyak pada sumber-sumber lain, yaitu Kitab Suci, Bapa-bapa Gereja, Magisterium. Bahkan dalam artikel ini kita tidak menemukan satu pun rujukan pada Kitab Suci dan Bapa-bapa Gereja. Tetapi, di lain pihak Heijden mengatakan, “Segi ini [karya-karya pujangga gereja dan para teolog abad pertengahan] dalam karya Rahner sering kurang dikenal, sebab biasanya – khususnya dalam buku-buku dan artikel-artikel sesudah 1950 – tidak langsung menjadi bahan yang diuraikan. Tetapi dasar itu tetap ada.” Apakah dengan menyebut nama Yohanes dari Salib menunjukkan bahwa Rahner merujuk ke salah satu pujangga gereja?
D. Bahasa
Mengikuti kata-kata Florin Păuleţ SJ juga – yang mengulas artikel lain: “The Theological Dimension of the Question about Man”- dalam artikel “The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Relationship with God” Rahner juga menggunakan bahasa yang teologis filosofis dan rasional juga. Dan kata Paulet, ini adalah kekhasan Rahner dalam berteologi. Kita bisa melihat terminologi-terminologi yang digunakan: ontologis, eksistensialis, instrumentalis. Meskipun begitu, bahasa yang digunakan di sini mengindikasikan pembaca yang memahaminya.
E. Kristologi
Pokok Kristologi Rahner dalam teks ini bisa kita lihat dalam paragraf 17. Dan dari kalimat pertama paragraf ini, kita bisa menyimpulkan bahwa artikel tersebut pada dasarnya adalah sebuah sebuah kristologi (sebuah investigasi kristologis). Rumusan Rahner tentang Yesus Kristus dalam paragraf ini, ditegaskan merupakan faktor yang menentukan/penting dalam keseluruhan refleksinya – dalam hal ini di artikel tersebut. Pandangan kristologi Rahner itu adalah sebagai berikut: ”Yesus, Sang Manusia, tidak hanya dulu pada satu waktu dari perlunya yang menentukan bagi keselamatan kita, yaitu bagi menemukan yang sungguh Allah yang absolut, dengan tindakan-tindakan historis-Nya di salib dan sekarang di masa lalu, dan lain-lain, tetapi – sebagaimana Ia yang menjadi manusia dan tetap sebagai ciptaan – Dia sekarang dan untuk selamanya keterbukaan yang senantiasa dari ada kita yang terbatas kepada Allah tak terbatas yang hidup, hidup kekal; Ia, demikian, bahkan dalam kemanusiaan-Nya realitas tercipta bagi kita, yang tindakan agama kita sedemikian rupa sehingga tanpa tindakan (ini) terhadap kemanusiaanNya dan melalui itu (secara implisit atau eksplisit), tindakan religius dasariah terhadap Allah tak akan pernah bisa mencapai tujuannya. Orang selalu melihat Bapa hanya melalui Yesus. ’Just as immediately as this’, karena kelangsungan akan penglihatan akan Allah bukanlah suatu penyangkalan akan kemediatoran Kristus sebagai manusia.”
F. Teologi
Teologi Rahner dalam teks ini menghadirkan pemahaman akan Allah Kristiani yang benar dipertentangkan dengan pemahaman akan Allah yang bukan Kristiani, yang panteistik, teofanistik. Rumusan paham (pemahaman akan) Allah Kristiani yang benar menurut Rahner itu bisa kita temukan dalam paragraf 11. Mengikuti kata-kata Florin Păuleţ SJ, teologi Rahner dalam teks ini juga ”apologetic”, but in a new way, namely open to dialogue. Penutup Selamat berteologi !!!! Karena, mengikuti kata-kata Heijden, ”Sebab membaca seorang teolog yang sungguh-sungguh melatih kita untuk berpikir teologis sendiri.”
Jadi, selamat berteologi secara mandiri!!!! Ha….ha….ha….. (Mbah Surip). Mungkin banyak salah tangkap yang saya lakukan atas karangan Rahner ini. Tetapi salah tangkap bisa jadi tanda-tanda berpikir teologis sendiri, berteologi secara mandiri, hehehehehehe