Jesuit

Teolog Jesuit: Teilhard de Chardin, SJ

Teilhard-de-Chardin-SJ

Siapakah Teilhard de Chardin, SJ?

Bayu Risanto, SJ

Apakah anda pernah mendengar nama Charles Darwin ? Sudah hampir pasti anda pernah mendengar namanya, sekurang-kurangnya saat dibangku sekolah. Banyak orang lebih mengenalnya daripada Pierre Teilhard de Chardin, SJ, seorang pastor Jesuit asal Perancis yang ahli kepurbakalaan (paleontologi), yang juga berminat dalam evolusi makhluk hidup. Darwin terkenal karena maha karyanya The Origin of Species yang membahas soal evolusi makhluk hidup, sementara Teilhard terkenal karena maha karyanya The Phenomenon of Man yang merefleksikan evolusi makhluk hidup khususnya manusia dari sisi iman Katolik. Karya Darwin yang didasarkan atas penelitiannya terutama di kepulauan Galapagos, pesisir barat Benua Amerika Selatan, mengawali paham evolusi yang berkembang saat ini. Manusia, misalnya, dimengerti sebagai perkembangan lanjut atas manusia purba yang hidup di padang rumput Afrika atau yang di pesisir Bengawan Solo. Tetapi, pembahasan Darwin berhenti pada tataran fisiologis atau segi jasmani makhluk hidup, seperti perkembangan tulang dahi pada manusia mulai dari yang rata hampir datar hingga tegak seperti sekarang ini. Karya Teilhard, tidak hanya menyentuh apa yang jasmaniah, ketubuhan, tetapi sampai pada yang rohaniah. Bagaimana kesadaran manusia muncul, bagaimana kesadaran itu berevolusi terus sampai pada titik akhir, apa yang menjadi landasan evolusi itu, dan bagaimana keyakinan Teilhard bahwa penciptaan manusia tidak akan berakhir pada suatu kesia-siaan belaka, dibahas dalam maha karyanya itu.

Kesadaran

Teilhard membagi sejarah alam (baca: Bumi) dalam tiga tahap besar, yaitu geogenesis atau terjadinya bumi dengan segala unsur-unsur kimia di dalamnya, biogenesis atau lahirnya makhluk hidup di muka bumi, dan noogenesis atau lahirnya kesadaran pada makhluk hidup yang disebut manusia. Biogenesis menghasilkan lapisan yang disebut sebagai biosphere yaitu tataran alam jasmani makhluk hidup yang bertubuh, sementara noogenesis membentuk lapisan noosphere atau kesadaran. Yang dimaksud sebagai kesadaran di sini adalah kesadaran dengan intensitas setara dengan kesadaran pada manusia. Dengan demikian evolusi bumi tidak hanya berhenti pada berkembangnya variasi makhluk hidup dari hewan bersel satu menjadi hewan bersel banyak dan kompleks seperti semut, gajah, atau manusia. Evolusi berlangsung pada tataran yang kasat mata, yaitu kesadaran. Oleh Teilhard, kesadaran disebut sebagai hakikat batin.

Kesadaran, menurut ilmuwan yang ikut menemukan “manusia Peking” dalam ekspedisi ke China ini, mempunyai tiga ciri utama. Yang pertama adalah kemampuan memusatkan segala sesuatu pada sebagian saja dari dirinya. Proses mendengar dan melihat secara bersamaan adalah suatu kemampuan untuk memusatkan apa yang terjadi di luar diri kepada mata dan telinga. Yang kedua adalah kemapuan memusatkan diri pada dirinya sendiri secara teratur dan bertahap, misalnya dalam proses belajar. Dan yang terakhir adalah kemampuan untuk dipersekutukan dengan semua kesadaran lain yang mengelilingi dirinya. Hal ini terlihat misalnya dalam kesadaran kita akan kebersamaan dengan orang-orang lain.

Evolusi Fisik adalah Evolusi Kesadaran

Evolusi makhluk hidup dalam ranah jasmani, menurut Teilhard, berkaitan erat dengan evolusi kesadaran pada ranah rohani. Diyakininya bahwa kesadaran sudah ada pada tingkat hewan bersel tunggal, dan bahkan pada benda-benda mati hanya saja intensitas sangat rendah dibandingkan dengan kesadaran pada makhluk-makhluk tinggi. Semakin tinggi kompleksitas suatu makhluk semakin tinggi pula tingkat kesadarannya. Mengenai hal ini, banyak orang sulit mengerti. Teilhard mendasarkannya pada kenyataan yang diterima oleh banyak ahli biologi bahwa pengada pertama di bumi ini adalah semacam molekul-molekul besar yang membentuk struktur sel makhluk hidup. Sebagai ilmuwan yang ikut serta dalam banyak ekspedisi arkeologi mulai dari Afrika, Burma, Jawa, hingga daratan China, Teilhard mengamati secara seksama perubahan sistem syaraf dan otak makhluk hidup khususnya manusia dari satu spesies ke spesies berikutnya. Ada dua unsur utama yang menjadi tolok ukur kemajuan. Yang pertama adalah sistem syaraf yang semakin sempurna dan terpusat, dan yang kedua adalah otak yang menjadi lebih besar dan rumit. Keduanya hanyalah perubahan pada tingkat fisiologis, namun baik otak maupun saraf adalah organ yang memungkinkan akan hadirnya kesadaran. Ini semakin menguatkan pendapatnya bahwa evolusi pertama-tama bukan perubahan dan perkembangan tataran jasmani tetapi tataran rohani, yaitu adanya kehendak yang kuat dari kesadaran untuk mencapai puncak evolusinya. Perjuangan untuk tetap hidup dan seleksi alam seperti diterangkan Darwin memegang peran penting dalam evolusi, tetapi perkembangan kehidupan menuju bentuk yang lebih kompleks dari makhluk bersel tunggal menjadi bersel banyak hanya mungkin diterangkan dengan adanya hakikat batin yang terus berevolusi. Kesadaran atau hakikat batin itu tahu memilih mana yang paling menguntungkan untuk kelangsungan hidup dirinya dan kelangsungan hidup spesiesnya dari berbagai kemungkinan yang ada. Kesadaran harimau untuk bertahan hidup di tengah-tengah dunia hewan mendorongnya untuk memperkembangkan taring yang panjang dan kuku yang kokoh. Selain dipakai untuk pertahanan diri, kuku dan taring itu berguna untuk berburu demi kelangsungan hidupnya. Pada spesies manusia, perkembangan fisik luaran tidaklah semaju hewan-hewan buas di padang belantara. Manusia tidak mengembangkan cakar, tanduk, hidung yang panjang, atau taring. Hakikat batinnya mengarahkan perkembangan pada penyempurnaan otak dan sistem syaraf sehingga kesadaran manusia melompat jauh meninggalkan makhluk-makhluk lainnya. Dalam pencapaian ini manusia mencapai lapisan yang lebih tinggi daripada sekadar biosphere, yaitu noosphere. Apa yang menjadi kelebihannya adalah kesadarannya tidak sekadar membantunya untuk melihat hal-hal di luar dirinya tetapi juga bisa melihat ke dalam dirinya dengan mempertanyakan siapa dirinya. Manusia adalah bagian dari kosmos yang mencapai puncak evolusi. Di dalam diri manusia inilah “kesadaran” kosmos melihat dirinya sendiri seperti memandang sebuah cermin untuk pertama kalinya. Seperti halnya tanduk, cakar, taring digunakan untuk mempertahankan diri dan melangsungkan hidup, kesadaran manusia yang “lebih” yang disebut sebagai pikiran adalah alat yang membantu manusia untuk mempertahankan hidupnya serta kelangsungan spesiesnya. Dengan kemampuan inilah, seluruh gerak evolusi tahap demi tahap sejak bumi dijadikan menjadi berarti. Semuanya itu telah disiapkan untuk memungkinkan makhluk yang dinamakan manusia ini hadir.

Titik Omega

Sebagai puncak evolusi apakah manusia berhenti berevolusi? Teilhard mengatakan bahwa evolusi tidak berhenti. Karena kesadaran kosmos ini telah naik sampai ke kesadaran dalam diri manusia, maka ke arah masa depan, manusia mengikuti alur yang sama. Arahnya tidak kepada pengerusakkan pribadi manusia tetapi ke suatu super pribadi, yaitu suatu pemusatan yang lebih tinggi pada kerohaniannya. Teilhard menyebut sasaran evolusi ini adalah titik omega. Sulit dibayangkan mengenai titik omega ini sesungguhnya, juga bila kita telah membaca maha karyanya. Pada saat ini, titik omega hanya bisa dibayangkan sebagai keadaan pribadi manusia di masa depan di mana kesadaran mencapai titik maksimumnya. Teilhard menyebutnya sebagai ego super pribadi di dalam kedalaman massa yang berpikir. Olehnya, manusia menjadi terhubungkan dengan sesamanya dan terjadilah keseimbangan yang sempurna dari persatuan umat manusia. Meski demikian pribadi manusia sebagai persona yang otonom tidak larut dalam persatuan sempurna ini melainkan mencapai puncak perkembangan yang sungguh-sungguh personal. Ini berbeda sekali dengan konsep dalam Hinduisme dan panteisme, di mana yang individual kehilangan personalitasnya dalam “lautan Semesta”. Karena Titik Omega adalah horizon di masa depan yang menjadi tujuan seluruh evolusi kosmos, tentu ada energi yang menggerakannya. Energi itu adalah cinta kasih. Dalam bahasa ilmu alam, kata cinta kasih terasa konyol. Bagaimana cinta kasih dapat dibuktikan secara empiris? Justru menurut Teilhard cinta kasih itu nyata dalam setiap unsur yang membentuk alam semesta. Cinta kasih bukan hanya sebatas keterpautan/ daya tarik antara makhluk dengan makhluk dan bukan khas dalam manusia saja. Cinta kasih adalah ciri umum dari seluruh kehidupan dan karena itu ia mencakup segala jenis, tingkat, dan bentuk yang diambil oleh materi yang tertata (terorganisasi). Pada tingkat manusia dan mamalia, cinta kasih mengambil bentuk yang mudah dikenali, tetapi semakin rendah atau sederhana suatu kehidupan, cinta kasih semakin sulit dikenali, hampir tak terlihat. Mengingat kehadirannya yang mudah dikenali pada kompleksitas materi yang semakin tinggi—yang merupakan kesatuan dari tingkat yang sederhana—dapatlah dipastikan bahwa kekuatan cinta kasih (potensi cinta kasih) sudah hadir dalam objek-objek dasar seperti molekul atau atom-atom. Bentuknya dapat hadir dalam gerak benda, lengkungan ruang waktu, gaya gravitasi benda-benda, dan semacamnya. Karena itulah, cinta kasih tidak kurang dan tidak lebih adalah jejak-jejak yang secara langsung tertera pada pusat unsur-unsur oleh pertemuan alam semesta secara fisik (jasmani) pada dirinya sendiri. Cinta kasihlah yang mampu sedemikian rupa mempersatukan makhluk-makhluk hidup sehingga mengutuhkan dan menggenapkan mereka. Cinta kasihlah yang menggerakkan dan menggabungkan mereka dengan yang terdalam pada diri mereka.

Penghambat Evolusi

Bentuk evolusi adalah bahwa manusia terus menerus mengalami kemajuan dari waktu ke waktu, misalnya dalam segi intelektual, sosial, dan budaya. Semuanya mengarah pada titik Omega. Meski demikian, ada kekuatan yang menghambat gerak evolusi dan ini harus dihadapi. Hambatan itu, menurut Teilhard, adalah kekuatan penolakan dan materialisasi. Penolakan terjadi ketika manusia yang berkesadaran belum mampu menyusup ke dalam daya tarik internal. Manusia menutup diri satu sama lain, enggan melihat kebersamaan sebagai sesuatu yang berharga bagi perkembangan dirinya. Perang dan ketidakpedulian adalah bukti nyata adanya penolakan. Agaknya ini tidak terjadi jika kebersamaan mereka membentuk suatu materialitas baru yang berdasar pada ideologi tertentu. Perlu diingat bahwa pada masa hidupnya, Teilhard menyaksikan kelahiran kelompok massa berideologi seperti komunisme, sosialisme, dan nasional sosialisme (Nazi). Tetapi perlu diingat materialitas tetap mengandung sisi buruk juga. Materialisasi terjadi ketika suatu kesadaran pribadi masuk dalam proses penyatuan pada suatu kelompok persona-persona lain, dan menjadi massa manusia. Seperti dalam bentuk kehidupan pada umumnya, manusia, supaya menjadi sungguh manusia, haruslah ia menjadi legion. Artinya adalah menjadi satu dengan yang lain, membentuk sekelompok massa yang besar. Di sini individu kehilangan personalitasnya dan tergantikan dengan materi baru, yaitu ideologi. Gerakan massa seperti itu berakhir keterbelengguan individu dan lenyapnya personalitas. Jelaslah ini bukan sasaran evolusi menuju titik omega yang dimaksud oleh Teilhard. Ada sejumlah usaha yang mendukung perkembangan evolusi. Pokok usahanya adalah melihat dengan cara baru bagaimana dorongan menuju persatuan manusia sebenarnya berjalan beriringan dengan perkembangan sisi personal individu manusia. Evolusi perlu dimengerti sebagai pendakian menuju kesadaran, dan kesadaran berkembang menjadi kemahasadaran. Di atas kita telah melihat bahwa salah satu sifat kesadaran adalah kemampuan untuk dipersekutukan dengan semua kesadaran lain yang mengelilinginya. Secara empiris kita dapat mengalami bangunan kolektif manusia di mana setiap orang ikut ambil bagian dalam bangunan itu melalui ilmu pengetahuan, filsafat, dan semacamnya. Maka dari itu, pertentangan antara yang pribadi dan yang semua akan lenyap pelan-pelan andai saja struktur noosphere (lapisan kerohanian) dipahami sebagai yang memusat bukan yang tertutup. Dalam konteks evolusi kesadaran, ruang-waktu adalah sesuatu yang mengatasi manusia karena dari padanya dan di dalamnya manusia tumbuh dan berkembang mulai dari bentuk yang sederhana menuju yang kompleks. Karena itu, yang semesta, universal, kolektif (seperti ruang-waktu) itu, tumbuh bersama-sama dengan yang pribadi dan kelak mencapai puncaknya, yaitu titik omega.

Peluang Evolusi

Apakah peluang-peluang untuk perkembangan evolusi? Mengenai kerja / usaha manusia, pertama kita mesti membaca ulang, memaknai, dan menempatkannya secara tepat dalam gerak sejarah manusia menuju semesta yang memribadi. Ada kecenderungan bahwa segala usaha manusia seperti ide-ide, penemuan, karya seni, dan teladan, dipandang sebagai harta warisan berharga dan kontribusi satu generasi bagi generasi berikutnya, bagi kemajuan umat manusia. Teilhard melihat semua itu sebagai sampah saja dan tidak lain kita mewariskan bayangan kita sendiri. Apa yang semestinya terjadi adalah, kerja dari segala kerja manusia seharusnya digunakan untuk membangun dan mewujudkan kemahasadaran dalam masing-masing pribadi, di mana dalamnya itu alam semesta mencerminkan dirinya sebagai sesuatu yang tiada duanya. Peluang lainnya adalah membuka kesadaran baru akan adanya perbedaan antara individualitas dan personalitas. Egoisme yang menghambat evolusi terjadi kerena pencampuradukan dua istilah ini. Individualitas adalah proses unsur menarik diri dari yang lain, dan pada saat yang bersamaan menarik dunia mundur ke arak kemajemukan dan memandangnya sebagai materi belaka. Ini mereduksi dirinya dan pada akhirnya melenyapkan dirinya. Sementara personalitas adalah tujuan asali diri kita. Personalitasnya dapat ditemukan ketika kita menyatukan diri bersama yang lain. Maka itu, yang perlu dikembangkan untuk mencapai kemajuan dalam evolusi adalah energi yang bersifat antar pribadi.

Kristus dalam Segala sesuatu

Di akhir bukunya yang ditulis di China dari Juni 1938 hingga Juni 1940, Teilhard berpaling pada fenomena Kristus; Kristus dalam segala sesuatu. Untuk memahami yang satu ini, ada proses bertahap yang panjang. Pada tahap pertama, kenyataan alam semesta, dari sudut kekuatan-kekuatan ilahi-alamiah disebabkan oleh kehendak ilahi yang dimengerti sebagai suatu energi khas yang merasuk, menghidupkan yang ada, serta mengarakan mereka pada tujuan akhir evolusinya. Pada tahap kedua, tindakan kreatif Allah sesungguhnya adalah unsur universal dari seluruh ciptaan. Allah adalah roh segala sesuatu yang bergerak, dan penyokong “ada” (eksistensi) segala sesuatu. Ciptaan memuncak secara kualitatif dalam manusia dan menyempurnakan dirinya dengan cara kembali pada Tuhan. Pada tahap terakahir, kenyataan alam semesta adalah Allah-menjadi-Manusia, atau dengan kata lain titik Omega. Ini tidak lain adalah pengaruh hidup kosmis Kristus. St. Paulus dan St. Yohanes sudah mengatakan bahwa Kristus adalah pusat segala ciptaan. Kristus dalam Segala Ciptaan harus dipahami pertama-tama dari sudut pandang ciptaan. Setiap ciptaan terbangun dari tiga unsur pokok; yang pertama adalah material ragawi individual yang membangun tubuh (raga); yang kedua adalah material rohani individual yang membangun jiwa; dan yang ketiga adalah sesuatu yang terkait dengan Kristus. Sesuatu ini adalah semacam relasi atau keterkaitan dengan Kristus yang bagi setiap individu memberikan personalitas paripurna serta nilai ontologis seutuhnya. Dengan demikian setiap ciptaan ditarik dan terfokus pada Kristus dan dengan demikian mendapatkan kepenuhan di dalam-Nya. Mengapa ada penambahan unsur yang ketiga? Karena Kristus adalah pusat segala ciptaan, dan Dialah yang memberi hidup kepada seluruh ciptaan di alam semesta ini. Dalam rangka eskaton, Kristus kosmis ini sudah hadir di dunia tetapi masih terus ada dalam suatu proses panjang perkembangan dalam dunia ini, entah dipahami dalam rangka individu-individu ataupun dalam rangka suatu kesatuan rohani manusia.

Bibliografi

Chardin, Teilhard de. The Phenomenon of Man. St James Place, London: Collins, 1963King, Ursula. Pierre Teilhard de Chardin; Writing Selected with and Introduction. Maryknoll: Orbis, 1999 Kopp, Joseph V. Teori Evolusi; Sintesis Baru Teilhard de Chardin. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983. Leahy, Louis. Pandangan Dunia Teilhard de Chardin, dalam Diskursus 2 (2003) hlm. 35-56