Santapan Batin

Santapan Batin 30

Hari ini kita merayakan kemartiran 44 saudara kita dalam Serikat Jesus. Darah mereka tercucur, nyawa melayang. Di India kepala Yohanes de Britto dipenggal pada abad 17. Rodolfo Acquaviva bersama 4 temannya dibunuh di Pulau Salsette, pada abad 16,  juga di India. Di jepang pada abad 17, dalam waktu tak kurang dari 20 tahun, 33 jesuit dimartir. Di Madagaskar Pater Jacques Berthieu dibunuh. Di Tiongkok Leo Mangin dan tiga jesuit, tahun 1900, dibunuh. Mendengar kemartiran, dapat terbayang peristiwa yang begitu heroic, pengorbanan yang sepenuh-penuhnya dan sehabis-habisnya. Tetapi dalam kemartiran, kita juga dapat melihat ketidakberdayaan di hadapan kekerasan. Kebaikan berakhir dengan pembunuhan, sebagian amat sadis, mengenaskan, atau mati dengan cara biasa (ditembak). Kemartiran seperti itu terasa begitu tragis dan ironis. Orang yang hidup penuh iman, menyebarkannya dengan tulus, dan tanpa pamrih, tetapi justru dibalas dengan kejahatan dan kekerasan. Namun, pada kelanjutannya di hadapan penindasan oleh kekerasan dan kekejaman, kemartiran menampakkan kemuliaan. Sekarang, kita dapat berbangga dengan kisah hidup Yohanes de Britto, Rodolfo Acquivaviva, Jacques Berthieu, dan teman-teman lainnya. Memeringati ke 44 martir ini, saya bertanya-tanya, bicara apa ingatan akan kemartiran itu bagi hidup harian zaman ini, sekarang ini. Bila penderitaan di dunia ini menggugah orang untuk bersolider (seperti selalu dicontohkan oleh kemurahanhatian kita untuk membantu korban bencana, dll) dan ingatan akan penderitaan dan kebangkitan Yesus menggerakkan orang untuk semakin percaya, beriman dan bertindak sesuai dengan ajaran Yesus, ingatan akan kemartiran sejumlah jesuit ini dapat berbicara apa kepada kita?***

(Sharing, 4 Februari 2013, Perayaan John de Britto, Jacques Berthieu, dkk)