Santapan Batin 44
Suara penyanyi cilik Nikita melantun syahdu. Lagu “Di Doa Ibuku” terdengar indah. Agustinus Heru Pitojo terpaku mendengarnya. Tanpa sadar air mata berurai dari pelupuk matanya. Terbayang di benaknya mendiang ibunya Theresia Suyati, di pagi-pagi buta sudah berlutut di hadapan patung Bunda Maria. Tak jarang ia mendapati sang ibu berdoa dengan mata basah. Berdoa adalah teladan utama yang diberikan sang ibu. Hidupnya yang sarat perjuangan seperti memiliki daya yang tangguh. Dan daya itu tak lepas dari ketekunannya berdoa. Buah-buah manis perlahan-lahan ia peroleh melalui rentang perjuangan yang panjang dan berliku. Heru Pitojo sangat mengagumi sosok sang ibu. Seorang perempuan sederhana yang perkasa. Sejak berusia 28 tahun ia sudah ditinggal pergi selamanya oleh suaminya. Sejak itu janda 7 anak laki-laki itu tak pernah berniat kawin lagi. Berbagai cara ia jalani demi menghidupi anak-anaknya. Pahit getirnya kehidupan telah dirasakan oleh sang ibu. Namun, Heru tak pernah mendengar ibunya mengeluh. Hidup baginya bekerja. Terus dan terus bekerja…. Segala macam pekerjaan ia lakukan. Mulai berdagang di emperan jalan, berdagang keliling hingga perlahan-lahan akhirnya ia bisa mengelola rumah makan sendiri.
Dikutip dari Etty, Maria, Melangkah Bersama Tuhan, Jakarta, Penerbit Obor, 2004, hal. 16.