Santapan Batin 98
Antok, anak kami yang duduk di kelas II SMA pada suatu sore bersama teman-temannya ketahuan makan dan minum-minum bir di rumah makan dan tidak bayar. Akhirnya, terjadi keributan dan sampai di tangani polisi. Mereka diwajibkan membayar ganti rugi kepada pemilik rumah makan. Selang beberapa waktu, saya dan istri saya berbicara dengan Antok dari hati ke hati. “Antok,” saya mulai bicara, “Ayah kira kamu mengerti akibat perbuatanmu, kan?” “Ya, Ayah,” jawab Antok singkat. “Ayah dan Ibumu kecewa atas tingkah laku. Makan dan minum tidak mau bayar. Lain kali, Ayah dan Ibumu tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi,” tambah istri saya. “Ya, Bu,” jawab Antok tenang dan sungguh-sungguh. “Ada sesuatu yang ingin kamu katakan, Tok?” tanyaku. Antok diam sebentar, lalu berucap, “Ayah, Antok kini sadar dan mengakui kesalahan. Antok minta maaf kepada Ayah dan Ibu.” “Minta maaf?” ibunya bertanya heran, “kamu minta maaf kepada Ayah dan Ibumu? Bukankah kau bersalah tidak kepada kami? Mintalah maaf kepada pemilik restoran itu.” “Tok, berbuat kesalahan itu wajar karena kita masih manusia, karena kita bukan malaikat. Minta maaf saja tidak cukup, tapi dari kesalahan itu kita mesti belajar bagaimana kita harus berbuat. Kesalahan adalah guru yang paling pintar bagi diri kita. Kakekmu dulu marah dan hampir putus asa memikirkan Ayah. Mereka mengira Ayah tidak dapat lagi diarahkan, tapi walaupun nakal Ayah masih berpegang pada batas-batas kewajaran, Ayah tetap menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan kakekmu” kataku.
Dikutip dari Hiro Tugiman, 101 Pernik Kehidupan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 35-36.