Ketika Mengasihi Berarti Mengambil Jarak

SEPANJANG sejarah, Gereja senantiasa menjadi sumber harapan. Selama masa penganiayaan dahulu, orang-orang Kristen berkumpul, berdoa bersama, dan saling menguatkan. Ketika di masa ini gedung-gedung gereja diserang, dibakar, diledakkan oleh para ektremis, umat justru menunjukkan diri bahwa mereka tidak menyerah kalah oleh ancaman teror. Perayaan Ekaristi di gereja-gereja tetap dipadati umat dan bahkan menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan sosial melawan terror dan ketidakadilan.

Akan tetapi, sekarang kita menghadapi sesuatu yang lain. Wabah coronavirus menyebar dengan cepat dalam kerumunan. Maka, Perayaan Ekaristi justru berisiko meluaskan persebaran penyakit. Banyak komunitas religius telah menunda atau membatalkan perayaan ibadah mereka. Kita telah mendengar Gereja Katolik di Roma telah menutup pintu sementara waktu. Tidak ada audiensi Paus, sebagaimana biasa kita saksikan, tidak ada umat yang berkumpul di lapangan St. Petrus. Di banyak negara lain telah diambil langkah serupa: tidak ada misa, tidak ada doa atau perayaan bersama. Beberapa keuskupan di Indonesia sudah mengambil langkah serupa: misa harian dan mingguan diselenggarakan secara streaming. Belum jelas betul sampai kapan kita mesti menjaga jarak satu sama lain (social distancing).

Apa yang perlu kita refleksikan dari ini semua? Apakah ini suatu bentuk kekalahan dan ketidakberimanan? Apakah artinya mengasihi kalau kita justru harus menjaga jarak? Pandemi telah memaksa Gereja untuk mempertimbangkan peran apa yang mesti diambilnya selama masa krisis. Maka, adaptasi dari refleksi Dr. Esau McCaulley dari Wheaton College berikut mungkin memberi inspirasi.

Sekitar tahun 250 M, sebuah wabah yang pada puncaknya dikatakan menewaskan 5.000 orang per hari telah menghancurkan Kekaisaran Romawi. Pada masa yang gawat ini, orang-orang Kristen memiliki peran yang menonjol karena pelayanan mereka kepada orang sakit. Karena mereka percaya bahwa Allah berkuasa atas kematian, mereka rela melayani orang sakit, bahkan dengan mengorbankan nyawa mereka. Kesaksian ini kemudian memberikan kemasyhuran bagi Kekristenan.

Haruskah kita, sekarang ini, mengikuti teladan mereka itu? Untuk tidak takut datang menjumpai dan mendekat kepada mereka yang terjangkit coronavirus? Untuk tetap berkumpul secara massal dan merayakan Tubuh dan Darah Kristus sebagaimana biasa?

Mungkin, para dokter dan perawat Katolik sungguh dapat memanfaatkan kisah heroik di atas. Apa yang dilakukan orang-orang Kristen di masa awal itu dapat menginspirasi mereka untuk dengan sepenuh hati merawat mereka yang sakit akibat pandemi. Akan tetapi, bagaimana dengan kita yang bukan tenaga medis?

Narasi yang pasti mengenai Covid-19 adalah sebagai berikut: Bahwa cara paling efektif untuk menghentikan penyebaran virus adalah dengan social distancing (menghindari pertemuan besar) dan kebersihan pribadi yang baik (mencuci tangan). Data telah menunjukkan bahwa apa yang dibutuhkan dunia sekarang bukanlah kehadiran fisik kita, tetapi justru ketidakhadiran fisik kita.

Di tengah wabah yang berkecamuk, Gereja fisik dan institusional harus merelakan diri untuk tersingkir sebagai pemeran utama. Tepat di sini, ada pelajaran yang sungguh berharga. Bukan bahwa Gereja harus menyingkir selamanya. Keutamaan yang heroik bisa datang baik melalui tindakan-tindakan kecil maupun dengan tindakan-tindakan besar.

Saat ini, kita hidup di zaman “penegasan diri sendiri”. Di mana-mana orang berteriak, “Perhatikanlah aku karena akulah satu-satunya orang yang bisa membantu.” Tepat di sini kita diingatkan, bahwa bagian penting dari pesan Kekristenan adalah bahwa Allah datang kepada kita dengan cara yang menantang pengharapan kita. Ia Yang Mahakuasa itu datang dengan mengosongkan diri-Nya dari kekuasaan sebagai seorang yang rendah. Yesus, sebagai Sang Raja, tidak datang dan menaklukkan musuh-musuhnya melalui kekerasan, ia datang dan mempertobatkan mereka dengan cinta dan pengorbanan.

Perintah Injil jelas: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Dan hukum yang kedua ialah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”

Mengasihi sesama tidak harus dilakukan dengan mengambil peran utama terhadap keselamatan sesama. Justru, kadang peran pinggiran lebih menolong. Konkretnya: Mengasihi sesama di masa coronavirus justru diwujudkan dengan tindakan mengambil jarak. Absensi kita-lah yang justru menyelamatkan sesama, yang mau kita kasihi sebagaimana kita mengasihi diri sendiri.

Maka, absennya Gereja dalam panggung utama pemberantasan coronavirus, kosongnya kursi-kursi gereja di hari biasanya kita merayakan Ekaristi, justru menjadi simbol kepercayaan kita pada kemampuan Allah untuk menjumpai kita terlepas dari tempat atau lokasi. Gereja tetaplah Gereja, baik ketika para anggotanya berkumpul maupun ketika berserak. Mungkin, krisis yang tengah kita alami bersama seluruh umat manusia dan Gereja seluas dunia ini, secara tidak langsung justru mengingatkan kita akan berharganya karunia berkumpul yang selama ini terlalu sering kita terima begitu saja.

Dan, kita tetap dipanggil untuk memiliki cara-cara kreatif untuk tetap dekat satu sama lain, untuk menyatakan kasih, untuk saling mendukung dan membantu, meskipun dalam suasana menjaga jarak seperti saat ini. Nasihat Paus Fransiskus berikut ini baik untuk kita renungkan.

“Di tengah pandemi ini, Tuhan itu dekat dan meminta kita untuk dekat satu sama lain, bukan untuk mengambil jarak di antara kita. Sekarang ini, di masa pandemi ini, di saat kita hidup di tengah situasi krisis, kedekatan yang diminta Allah ini, mengundang kita untuk memanifestasikannya secara lebih, untuk menjadi lebih tampak. Mungkin kita tidak dapat dekat secara fisik, karena risiko penularan, tapi kita bisa membangunkan kembali di dalam diri kita, suatu habitus untuk dekat satu sama lain: melalui doa, sikap saling membantu, dan banyak jalan lain untuk menjadi dekat satu sama lain. Mengapa kita harus dekat satu sama lain? Karena Tuhan, apa pun situasinya, dekat dengan kita.”

Renungan Misa Kolsani, 20 Maret 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *