Mari Belajar dari St. Ignatius Loyola
Pesta St. Ignatius di Kolsani: Mari Belajar dari St. Ignatius Loyola
Jumat, 31 Juli 2020, bertepatan dengan saudara-saudara muslim merayakan Hari Raya Idul Adha, Gereja dan khususnya para Jesuit, merayakan Pesta Pendiri Serikat Jesus, Santo Ignatius Loyola. Bagi kami yang tinggal di Kolsani (Kolese Santo Ignatius, Yogyakarta), sekaligus juga merayakan nama pelindung rumah kami. Kami menyelenggarakan Perayaan Ekaristi bersama di Ruang Rekreasi Para Frater, dipimpin Romo Rektor, Andreas Sugijopranoto, SJ. Berikut ini adalah teks homili beliau, yang mengajak kita untuk belajar dari St. Ignatius tentang bagaimana melihat tanda-tanda zaman dan gerak-gerak batin, serta membangun kehendak kuat menanggapi dua hal tersebut.
“MEMBERIKAN homili pada HR St Ignatius Loyola di depan para Jesuit tentu merupakan sebuah tantangan tersediri karena kita masing-masing sudah sangat paham detail kehidupan santo pendiri Ordo kita. Apa lagi yang mau diomongkan kalau semua yang hadir di sini sudah tahu apa dan siapa itu Ignatius Loyola.
Barangkali ini juga terkait dengan cara berpikir. Orang teknik tidak akan mengatakan satu hal berulang-ulang karena orang teknik menganggap suatu hal cukup dibicarakan sekali saja dan langsung akan dipahami semua untuk dikerjakan. Pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan orang teknik juga tidak akan mengulang-ulang suatu teori. Perdebatan, proses saling belajar terjadi saat sesuatu sedang dijalankan. Berbeda dengan orang sosial dan humaniora yang senang mengulang-ulang hal yang sama.
Itulah permasalahan terbesar saya saat belajar Filsafat dan Teologi. Halnya sudah sangat jelas: Yesus adalah Putera Allah Sang Penebus Dunia, penyelamat. Tetapi hal ini dibicarakan dan terus dibicarakan berulang-ulang setiap kuliah selama 3 tahun menjalani Baccalaureat Teologi.
Pada saat Jenderal Pedro Arrupe mengunjungi camp pengungsi di Afrika dan Asia Tenggara, beliau bertanya dalam hatinya, “Seandainya St. Ignatius masih hidup, apakah yang akan dia buat melihat penderitaan para pengungsi ini?” Arrupe begitu yakin bahwa Ignatius pasti akan melakukan sesuatu untuk menanggapi persoalan besar ini. Dia teringat Ignatius suatu ketika mengemis di suatu musim dingin lalu membagi-bagikan hasilnya bagi orang miskin yang kedinginan di Roma. Arrupe kemudian mendirikan JRS.
Peringatan St Ignatius Loyola bagi kita barangkali lebih pas kalau kita menggunakan metode Jenderal Arrupe. Sebagai seorang pengikut St. Ignatius, sebagai orang yang pernah menjalani Latihan Rohani 30 hari lalu mencoba menghayatinya dalam hidup nyata, sekarang ini kita juga diajak seperti Jenderal Arrupe, membayangkan dan bertanya-tanya, seandainya Ignatius masih hidup sekarang ini di Kolsani ini, apa kiranya yang dia ingin lakukan?
Dari pengalaman hidupnya selama studi di Barcelona, Alcala, kemudian Roma kita melihat bagaimana Ignatius selalu melihat tanda-tanda jaman sekaligus melihat gerakan-gerakan batin untuk melihat apa yang Tuhan inginkan dan menggerakkan kehendak kuat untuk mengikuti apa yang Tuhan tuntunkan. Bagaimana mungkin seorang berusia 33 tahun memutuskan untuk belajar bahasa Latin bersama-sama anak-anak di dalam kelas, agar dapat belajar Teologi? Tentu ini suatu kehendak yang kuat yang muncul dari keyakinan bahwa Allah memang menginginkan Ignatius untuk belajar Teologi karena pengalaman yang dialami di Yerusalem.
Bagi saya, (1) Kemampuan melihat tanda-tanda jaman, (2) Terlatih melihat gerakan-gerakan batin untuk melihat apa yang Tuhan inginkan (3) menggerakkan kehendak kuat untuk mengikuti apa yang Tuhan tuntunkan, adalah hal yang masih harus kita ikuti dari St Ignatius.
Apapun yang dibuat Ignatius selama hidupnya di samping belajar Teologi, misalnya: mengumpulkan teman-teman, berkaul untuk ke Yerusalem lalu ganti menyerahkan diri ke Paus, mendirikan kolese-kolese, mengutus teman-temannya, dlsb, semua itu berproses mengikuti 3 hal di atas.
Maka, marilah mengikuti Santo Ignatius: terbuka pada tanda-tanda jaman, melatih diri dalam examen, membangun kehendak.”
Andreas Sugijopranoto, SJ